midtoad.org – Di wilayah Aceh, harga emas yang telah mencapai titik Rp 4 juta per mayam menuntut pasangan yang akan menikah untuk mempersiapkan anggaran mahar dengan lebih matang. Logam mulia, yang telah lama menjadi simbol mahar dalam tradisi pernikahan, kini menjadi topik penting karena implikasi finansialnya yang signifikan.
Pandangan Syariat Islam Mengenai Mahar
Muhammad Nasril, Penghulu Ahli Muda di KUA Kuta Malaka, Aceh Besar, memberikan pencerahan bahwa dalam kitab fiqh dan kompilasi hukum Islam, mahar dianggap wajib bagi laki-laki yang ingin menikah, terlepas dari apakah mahar tersebut diungkapkan selama akad nikah. Sebuah prinsip yang dikenali sebagai mahar mitsil mengharuskan pembayaran mahar sesuai dengan standar biasa bila tidak disebutkan selama akad.
Keseimbangan dalam Penetapan Mahar
Dengan harga emas yang mengalami kenaikan, Nasril menggarisbawahi kebutuhan untuk menemukan keseimbangan dalam penetapan mahar, agar tidak membebani calon pengantin pria secara berlebihan. Beliau mengobservasi bahwa dalam upaya memenuhi tuntutan mahar, beberapa calon pengantin pria mungkin terpaksa mencari solusi finansial seperti kredit atau penggadaian.
Negosiasi Mahar untuk Kestabilan Pernikahan
Lebih lanjut, Nasril mendesak untuk adanya dialog antara calon pengantin dalam menyetujui jumlah mahar, dengan tujuan agar mahar tidak menjadi penghalang bagi pernikahan yang sudah memenuhi syarat lainnya. Beliau menegaskan bahwa nilai sebuah pernikahan tidak hanya diukur dari materi namun juga dari keikhlasan dan tanggung jawab kedua belah pihak.
Tren Mahar di Aceh dan Alternatif yang Ada
Rata-rata mahar di Aceh saat ini melebihi 10 mayam, dengan beberapa mencapai 40 mayam. Di tengah tekanan ekonomi ini, Nasril mengingatkan bahwa alternatif selain emas, seperti uang atau surat tanah, juga bisa dijadikan mahar, mengikuti syariat Islam yang tidak mengharuskan emas sebagai satu-satunya pilihan.
Persepsi Tentang Emas dan Mahar
Penggunaan emas sebagai mahar telah membentuk persepsi di masyarakat bahwa tanpa emas, pernikahan tidak dapat terlaksana. Ungkapan lokal “hana meuh hanjeut meukawen” mencerminkan pandangan ini. Namun, Nasril menekankan bahwa syariat Islam memberikan fleksibilitas dalam menentukan bentuk mahar.
Dengan kenaikan harga emas, proses penentuan mahar di Aceh membutuhkan pendekatan yang bijaksana dan inklusif. Kebutuhan untuk menemukan solusi yang tidak membebani salah satu pihak serta mempertahankan nilai-nilai esensial dalam pernikahan menjadi lebih penting. Hal ini menyerukan kepada calon pengantin untuk merenungkan inti dari pernikahan yang sejati, yang berakar pada komitmen bersama di atas segala bentuk materi.