Instalasi Pasir di Depan Gedung Putih, Keluarga Sandera Desak AS Tekan Gencatan Senjata Gaza

midtoad.org – Puluhan kerabat sandera asal Israel membentangkan instalasi pasir raksasa di depan Gedung Putih, Washington D.C., pada Kamis (4/7) waktu setempat. Aksi ini berlangsung sebagai bentuk desakan langsung kepada Presiden Joe Biden agar pemerintah Amerika Serikat mendorong tercapainya gencatan senjata di Jalur Gaza. Pasir dalam instalasi tersebut membentuk wajah-wajah para sandera yang masih ditahan oleh Hamas sejak serangan 7 Oktober 2023.

Wajah-Wajah yang Belum Pulang

Instalasi pasir itu menampilkan sekitar 120 wajah sandera yang belum kembali ke rumah hingga kini. Setiap gambar wajah diberi nama dan umur, menggambarkan kesedihan dan keputusasaan keluarga yang terus menunggu kabar. Para peserta aksi berharap visualisasi ini dapat menggugah nurani publik Amerika dan mempercepat keterlibatan diplomatik Washington dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Gaza.

Seruan Emosional kepada Presiden Biden

Beberapa kerabat sandera menyampaikan pernyataan langsung di depan media. Mereka menuntut Biden menunjukkan sikap lebih tegas kepada Israel dan Hamas untuk menghentikan perang dan memprioritaskan pembebasan sandera. “Kami tidak meminta keajaiban. Kami meminta tindakan nyata dari negara yang mengaku menjunjung nilai kemanusiaan,” ujar Rachel Levi, saudara perempuan salah satu sandera. Pernyataan itu mendapat tepuk tangan dari para peserta aksi dan simpatisan.

Kritik Terhadap Pendekatan Pemerintah AS

Para keluarga sandera merasa frustrasi terhadap pendekatan lamban dan diplomasi yang terlalu berhati-hati dari Washington. Mereka menilai Amerika Serikat seharusnya memanfaatkan pengaruh politik dan militernya untuk menekan kedua belah pihak agar segera mencapai kesepakatan damai. Menurut mereka, perpanjangan konflik hanya menambah jumlah korban dan memperkecil peluang penyelamatan para sandera.

Desakan Gencatan Senjata Meningkat

Selain kerabat sandera, sejumlah aktivis HAM dan kelompok pro-perdamaian turut bergabung dalam aksi tersebut. Mereka membawa poster bertuliskan “Bring Them Home Now” dan “Ceasefire Now”. Suara mereka menyatu dalam satu tuntutan utama: gencatan senjata segera. Aksi ini menjadi bagian dari gelombang protes global yang mendesak dunia internasional segera turun tangan menghentikan penderitaan rakyat sipil di Gaza dan membebaskan para tawanan.

Harapan Terakhir dari Pasir

Instalasi pasir itu bukan hanya sekadar karya seni. Para keluarga sandera bonus new member menganggapnya sebagai bentuk komunikasi terakhir mereka kepada dunia, khususnya kepada Presiden Biden. Mereka berharap, sebelum pasir itu terhapus angin, dunia mau mendengar jeritan mereka. “Pasir bisa hilang, tapi nyawa tidak bisa kembali,” kata seorang ibu sambil memandangi wajah anaknya yang terpahat di pasir. Mereka tidak akan berhenti hingga keadilan dan kedamaian benar-benar tercapai.

Tangisan Anak Gaza: Seruan Lapar dari Tengah Reruntuhan

midtoad.org – Seorang anak Palestina berdiri di antara reruntuhan bangunan di Jalur Gaza dan memohon makanan kepada para relawan kemanusiaan. Dengan suara bergetar dan mata penuh air mata, anak laki-laki itu berkata, “Kami lapar… Tolong beri kami makan.” Permintaan sederhana itu menggambarkan penderitaan ribuan anak lain yang hidup dalam kondisi kelaparan akibat blokade dan serangan terus-menerus.

Blokade dan Serangan Membuat Warga Gaza Terisolasi

Sejak konflik meningkat, pasukan Israel terus menggempur wilayah Gaza dan memutus jalur pasokan bantuan. Pemerintah setempat tidak bisa menyalurkan makanan atau obat-obatan karena keterbatasan akses. Warga sipil, termasuk anak-anak, kehilangan rumah, keluarga, dan akses terhadap kebutuhan dasar. Anak-anak seperti bocah yang menangis tadi menjadi simbol kehancuran kemanusiaan yang sedang terjadi.

Lembaga Kemanusiaan Kesulitan Menyalurkan Bantuan

Organisasi bantuan internasional seperti UNICEF dan Palang Merah menghadapi tantangan besar dalam mengirimkan bantuan ke wilayah konflik. Mereka mengaku tidak bisa menembus banyak area karena penutupan jalur darat dan pembatasan militer. Beberapa relawan melaporkan bahwa anak-anak di Gaza hanya makan sekali sehari, bahkan terkadang tidak sama sekali.

Anak-Anak Menjadi Korban Utama Konflik

Setiap hari, anak-anak di Gaza harus berjuang untuk bertahan hidup. Mereka tidak bisa bermain, bersekolah, atau bahkan merasa aman di rumah sendiri. Konflik ini telah merenggut masa kecil mereka. Anak-anak yang selamat dari serangan kini hidup dalam kondisi trauma berat, kelaparan, dan ketidakpastian. Tangisan bocah yang memohon makanan hanya satu dari sekian banyak jeritan yang dunia belum dengar.

Masyarakat Internasional Diduga Lambat Bertindak

Berbagai negara dan organisasi internasional sudah mengetahui kondisi ini, namun mereka belum mengambil tindakan yang cukup cepat. Banyak pihak mengeluarkan pernyataan keprihatinan, tetapi bantuan nyata masih sangat minim. Sementara itu, anak-anak Gaza terus menunggu secercah harapan yang belum datang. Mereka membutuhkan tindakan konkret, bukan sekadar simpati.

Seruan Mendesak untuk Mengakhiri Penderitaan

Aktivis kemanusiaan dan pemimpin dunia harus segera bergerak. Mereka harus mendesak slot 10k gencatan senjata, membuka akses bantuan kemanusiaan, dan menjamin perlindungan terhadap anak-anak. Dunia tidak bisa terus membiarkan seorang anak menangis kelaparan di tengah reruntuhan tanpa harapan. Permohonan emosional bocah Palestina itu harus menjadi panggilan bagi seluruh umat manusia untuk bertindak.

Menghadapi Ketidakpastian: Kisah Mantan Sandera IDF di Gaza dan Ketakutannya terhadap Serangan

midtoad.org – Seorang mantan sandera dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Gaza berbagi kisah mencekamnya selama dalam tahanan. Setiap hari dalam penangkaran, dia merasa bahwa hidupnya berada di ujung tanduk. Ketidakpastian dan ketakutan menguasai pikirannya, terutama saat mendengar suara-suara yang menandakan potensi serangan.

Kehidupan dalam Tahanan: Ketidakpastian yang Menyiksa

Selama penahanannya, mantan sandera ini harus menghadapi ketidakpastian yang konstan. Kondisi tahanan yang buruk dan minimnya akses informasi memperburuk situasi. Dia menggambarkan bagaimana setiap suara ledakan atau penembakan membuatnya yakin bahwa itu adalah akhir dari hidupnya. Rasa takut yang intens melingkupi setiap harinya, tanpa ada jaminan keselamatan.

Ketakutan Terbesar: Serangan Israel

Salah satu ketakutan terbesar yang dia hadapi adalah kemungkinan serangan dari pasukan Israel. Dalam kondisi terkurung, dia merasa rentan terhadap segala bentuk kekerasan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari ancaman langsung, tetapi juga dari kekhawatiran akan serangan balasan yang bisa menghancurkan tempat dia ditahan.

Pengalaman yang Mengubah Pandangan Hidup

Pengalaman menjadi sandera tidak hanya meninggalkan trauma, tetapi juga mengubah pandangan hidupnya secara keseluruhan. Ketahanan mental dan emosionalnya diuji dalam setiap detik penahanan. Dia belajar untuk menemukan harapan dalam situasi yang tampaknya tanpa harapan dan menghargai kebebasan yang sering dianggap remeh oleh banyak orang.

Kesimpulan: Harapan untuk Masa Depan yang Damai

Setelah berhasil keluar dari situasi mencekam tersebut, mantan sandera ini slot 10k berharap agar konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina dapat segera berakhir. Dia menginginkan masa depan di mana tidak ada lagi yang harus mengalami penderitaan seperti yang dialaminya. Harapannya adalah terciptanya perdamaian di kawasan tersebut, yang memungkinkan semua orang hidup dalam keamanan dan kebebasan.

Pengalaman ini menjadi pengingat bagi banyak orang tentang pentingnya dialog dan upaya damai dalam menyelesaikan konflik. Dengan harapan yang kuat, dia terus berdoa agar dunia dapat belajar dari penderitaan yang dialaminya dan bergerak menuju masa depan yang lebih damai.

Kesulitan Israel di Gaza: Kekurangan Pasukan dan Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Militer

midtoad.org – Pasukan Israel menghadapi tantangan besar dalam operasi militernya di Gaza, yang kini telah memasuki bulan kesembilan. Berbagai laporan mengindikasikan kekurangan signifikan dalam pasukan cadangan, memaksa negara tersebut untuk merekrut sukarelawan demi melanjutkan operasi militer.

Tragedi Bunuh Diri di Kalangan Tentara

Sejumlah sumber, termasuk laporan dari Palestine Chronicle, menyebutkan bahwa seorang tentara Israel mengambil keputusan tragis untuk mengakhiri hidupnya setelah mendapat perintah kembali bertugas di Gaza. Menurut Haaretz, sebuah harian Israel, sejak tanggal 7 Oktober, telah tercatat sepuluh perwira dan tentara melakukan bunuh diri, beberapa di antaranya terjadi selama pertempuran di wilayah sekitar Gaza.

Krisis Kesehatan Mental yang Mendalam

Pada pertengahan Maret, militer Israel mengakui mengalami krisis kesehatan mental terparah sejak tahun 1973, bertepatan dengan dimulainya operasi Banjir Al-Aqsa pada tanggal 7 Oktober. Konflik berkelanjutan dengan kelompok perlawanan Palestina telah memberikan dampak mendalam terhadap mental pasukan.

Penurunan Minat dalam Dinas Militer

Laporan dari Yedioth Ahronoth, mengungkapkan penurunan minat di antara perwira untuk melanjutkan karir militer pasca-konflik, dengan hanya 42% yang menyatakan keinginan untuk tetap bertugas, turun dari 49% di bulan Agustus tahun sebelumnya.

Statistik Korban dan Cedera

Militer Israel telah melaporkan 3.763 tentara terluka sejak permulaan konflik pada 7 Oktober, dengan 1.902 cedera terjadi sejak dimulainya operasi darat pada 27 Oktober. Total korban jiwa resmi dari kalangan tentara dan perwira mencapai 646 orang sejak awal konflik, dengan 294 di antaranya terjadi selama operasi darat di Gaza. Sementara itu, sumber-sumber dari rumah sakit dan media di Israel menunjukkan bahwa angka korban jiwa sebenarnya mungkin lebih tinggi dari yang dilaporkan secara resmi.

Kondisi saat ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapi Israel dalam operasi militernya di Gaza, tidak hanya dari segi logistik dan strategi militer, tetapi juga dari aspek kesehatan mental dan keberlangsungan kekuatan personel.

UEA Kecam Israel atas Usulan Pengaturan Gaza oleh Netanyahu

midtoad.org – Uni Emirat Arab (UEA) mengutuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena mencantumkan nama negara Teluk itu dalam proposalnya sebagai salah satu entitas yang memerintah Jalur Gaza di bawah pendudukan Negeri Zionis. Menteri Luar Negeri UEA, Sheikh Abdullah bin Zayed, mengecam tindakan tersebut, menyatakan bahwa Netanyahu tidak memiliki legitimasi untuk mengatur atau mengambil langkah semacam itu. UEA menolak keterlibatan dalam rencana apapun yang mencoba menyembunyikan kehadiran Israel di Gaza, dengan Sheikh Abdullah menegaskan komitmen UEA dalam mendukung pemerintahan Palestina yang sejalan dengan aspirasi rakyat Palestina.

Netanyahu dalam wawancara pada Kamis menyatakan perlunya pemerintahan sipil di Gaza, mungkin dengan dukungan dari UEA dan negara lain. Dia menyebut kemungkinan bantuan dari UEA, Arab Saudi, dan negara lain dalam membentuk pemerintahan sipil untuk menangani warga Gaza pasca-perang. Sementara itu, anggota kabinet pemerintahan Netanyahu menolak gagasan negara Palestina merdeka, dengan Netanyahu menegaskan perlunya Israel mempertahankan kendali keamanan di Gaza setelah perang.

Terpisah, Israel telah melancarkan serangan di Jalur Gaza sebagai balasan atas aksi Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sejumlah orang. Konflik tersebut telah menimbulkan korban jiwa di antara warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, serta melukai ribuan orang. Rakyat Palestina berharap untuk mendirikan negara merdeka di wilayah yang diduduki, aspirasi yang didukung oleh UEA. Situasi ini mencerminkan ketegangan yang berkelanjutan di kawasan tersebut dan kompleksitas upaya perdamaian di Timur Tengah.